bernasnews – Ketika menjalani proses belajar di sebuah sekolah, kiranya kita belum atau tidak membayangkan menjadi alumni. Atau bahkan ketika masih di level pendidikan dasar, kita juga belum paham tentang cita-cita.
Di antara sekian banyak siswa di kelas dan sekolah, tentu ada yang menonjol dari sisi akademik, non akademik dan mungkin memiliki kenakalan dalam batas tertentu. Siapa tahu, si A yang menonjol pada saat itu, kelak kemudian hari justru menjadi orang biasa. Sedangkan si B yang dianggap kurang pandai plus suka usil, malah sukses. Ya pada akhirnya, semuanya tergantung pribadi dan perjuangan masing-masing selanjutnya.
Bicara tentang posisi alumni, artinya sudah lulus dari sekolah, penulis pun mengalami. Tidak terasa, pada 2023 penulis sudah 50 tahun lulus dari sekolah menengah pertama (SMP) di Kidul Loji, Yogyakarta. Nama lain kawasannya pada waktu itu adalah Jalan Panembahan Senopati. Penulis masuk ke SMP itu tahun 1971 dan lulus tahun 1973. Artinya, pada 2023 sudah 50 tahun atau setengah abad silam.
Bagaimana rasanya sebagai alumni SMP setengah abad? Bersyukur dan senang diberikan kesempatan umur panjang, sehat dan masih mau berkarya. Paling tidak, berkarya tulis yang sederhana ini.
Lalu apa yang akan diberikan sebagai “kado kecil” kepada almamater yang kini sudah pindah di Jalan Timoho Yogyakarta? Karena penulis sebagai pegiat literasi, kadonya ya berbagi pengalaman kecil tentang pentingnya literasi sekolah. Peserta belajar bersamanya adalah bapak ibu guru sekolah itu.
Mencari pilihan cita-cita
Lima tahun silam, tepatnya 2018, almamater penulis menyelenggarakan Reuber Lintas Angkatan. Reuber adalah reuni bersama. Agenda ini didukung oleh para pihak, antara lain ketua yayasan sekolah pada waktu itu.
Dikatakan bahwa melalui reuni lintas angkatan ini dapat menyatukan kembali sebagai warga sekolah. Reuni juga merupakan ajang bertemu kembali antarteman dengan gembira sehingga menambah semangat dan kebahagiaan dalam kehidupan. Dalam istilah umum, reuni sebagai ajang silaturahmi.
Penulis beruntung menjadi salah satu alumni yang diberi kesempatan menulis di buku reuber edisi luks berwarna itu. Jujur saja, dari nilai-nilai akademik di SMP itu penulis termasuk siswa yang pas-pasan, biasa, tidak menonjol. Selain itu, penulis juga belum terlalu paham dan jelas menemukan gambaran cita-cita kelak kemudian hari.
Baru setelah masuk ke sekolah menengah atas (SMA) di Jalan Solo, Yogyakarta, penulis mulai menemukan cita-cita sebagai wartawan. Hal ini berkat memperoleh kesempatan atau kepercayaan mengelola majalah sekolah stensilan dengan posisi sebagai pemimpin redaksi.
Meski saat SMP tidak menonjol secara akademik dan non akademik, namun penulis dapat meresapi dan mencoba mengimplementasikan dalam kehidupan nilai-nilai utama sekolah. Sebagaimana tertulis dalam buku pedoman, visi sekolah adalah (menjadi) Pusat berkembangnya pribadi yang beriman tangguh, berbudi pekerti luhur, berprestasi tinggi dan berwawasan keutuhan ciptaan. Dengan bekal pendidikan dari para guru, ditambah proses belajar lanjut dalam “universitas kehidupan”, penulis percaya (dan sudah merasakan) para siswa sekolah ini terbantu menjadi pribadi yang benar dan baik.
Saat reuni bersama pada tahun 2018, usia sekolah penulis 95 tahun. Ini kalau dilihat sejarah awal berdirinya bernama MULO (Meer Uitgegreid Lager Onderwijs) pada tahun 1923. Artinya, pada 2023 ini, sekolah penulis berusia 100 tahun atau satu abad. Puji syukur.
Sekolah penulis itu bernama SMP Pangudi Luhur, Yogyakarta. Selamat dan suskes untuk almamater, warga sekolah dan alumninya. (Anto Margono, Alumni SMP Pangudi Luhur Kidul Loji Yogyakarta 1973).