bernasnews – Banyak kisah dunia usaha berkaitan dengan kewajiban membayar pajak dan melaporkan SPT PPh Badan. Ada yang berkaitan dengan siapa yang memotong dan melaporkan, ada yang berkaitan dengan konsekuensi pajak bagi pihak yang tidak memiliki NPWP, ada yang berkaitan dengan penambahan atau pengurangan pajak.
Hal-hal itu terungkap dalam seminar Tatap Muka Terstruktur “E-bupot Unifikasi dan Critical Poin Penyusunan SPT PPh Badan Tahun 2022 Paska Perubahan UU HPP Beserta Aturan Turunannya”, di Yogyakarta, Kamis (16/3/2023).
Seminar yang diselenggarakan oleh Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Yogyakarta ini diikuti oleh puluhan konsultan pajak dari berbagai daerah, pengusaha, dan akademisi. Hadir dalam seminar ini Plt Kakanwil DJP DIY Slamet Sutantyo, Robert Hutapea (Pengurus IKPI Pusat), dan AM Santosa (Ketua IKPI Cabang Yogyakarta)
Pembicara seminar adalah Michael, praktisi akuntansi dan perpajakan sekaligus dosen Universitas Pradita, Tangerang. Dalam seminar yang dipandu Dielanova Wynni Yuanita (Dosen FE UKDW) ini ia membahas banyak aspek perpajakan, seperti unifikasi dan pengaplikasian e-bupot, ekualisasi dan rekonsiliasi, beda penanganan klien UMKM, industri, dan jasa, serta pemetaan SPT 1771 Tahunan PPh Badan 2022.
Seminar berlimpah sharing kasus. Selain karena pesertanya adalah praktisi, tujuan seminar ini memang bimbingan praktis supaya pengisian SPT PPh Badan cepat dan tepat. Michael memaparkan materi secara terstruktur sekaligus menanggapi pertanyaan-pertanyaan dengan solusi-solusi praktis.
Dari paparan Michael, pengisian aplikasi e-bupot unifikasi ini mudah. Sebab, tujuan aplikasi unifikasi ini memang untuk menyederhanakan dan menyeragamkan laporan pajak. Yang justru tidak mudah tetaplah tentang bagaimana memahami konsep secara keseluruhan dan logika-logika dalam setiap isian form.
Ia mencontohkan bagaimana penghasilan final dan non-final harus dipisahkan dulu. Ia juga mengingatkan peserta akan memahami tiga sistem pelaporan pajak, yakni sistem pemotongan pajak (withholding tax system), sistem pajak terutang (self-assessment system), dan sistem perhitungan pajak (assessment system).
Juga penting mengerti 13 koreksi fiskal yang diberlakukan direktorat jenderal pajak. Koreksi fiskal dilakukan sebagai bagian dari upaya DJP untuk memastikan bahwa wajib pajak memenuhi kewajiban perpajakan mereka. Wajib pajak diharapkan untuk mematuhi ketentuan perpajakan yang berlaku dan melakukan pelaporan dan pembayaran pajak dengan benar dan tepat waktu untuk menghindari koreksi fiskal dan sanksi perpajakan lainnya.
Bagi konsultan pajak, pengusaha skala industri dan UMKM, maupun akademisi, materi perpajakan seperti ini sangat penting dipahami supaya dapat menyelaraskan diri dengan kepatuhan wajib pajak yang kini semakin meningkat. Penguasaan aspek-aspek perpajakan, sejak pemotongan atau penyetoran hingga pelaporan, secara tepat, akan membantu wajib pajak membayar dan melaporkan pajak secara sesuai dan membantu negara mengoptimalkan penerimaan pajaknya secara adil dan transparan. (*/mar)